Senin, 07 Januari 2013

Piagam Ibu

Suatu hari, di sebuah rumah terlihat kesibukan penghuninya. Mereka bersama-sama mengangkat, menggeser, dan memindah-mindahkan berbagai macam perabot rumah dengan diselingi canda dan sapa akrab di antara mereka. Rupanya seiring dengan bertambahnya usia, anak-anak ingin kamar tidur terpisah, sehingga ada keleluasaan untuk mengatur barang-barang mereka sendiri.

Bersama mereka merencanakan pembagian ruang, perabotan, dan tugas, dan sengaja meluangkan waktu libur untuk merenovasi sesuai rencana yang telah disepakati. Di keluarga itu, ayah dan anak-anak memiliki kesamaan minat dan aktif di berbagai kegiatan dan organisasi, seperti olah raga, kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Itu bisa dilihat dari banyaknya piagam penghargaan dan piala yang berhasil didapat dan saat ini tegeletak di berbagai sudut, terbengkalai dan belum tersentuh.

Setelah memikirkan bersama, mereka memastikan piagam dan piala akan ditempatkan di ruang tamu dengan menambahkan rak pajang. Sambil bernostalgia mengingat saat kemenangan, si sulung berkomentar, “Bu, rasanya enggak komplit lho, di antara piala dan piagam ini tidak ada nama ibu. Waktu ibu muda sampai sekarang, apa ibu enggak pernah ikut pertandingan?”

“Wah kalau ibu kalian ikut bertanding dan menjadi pemenang juga, kita semakin repot dong mencari tempat untuk menyimpan piala dan piagam ini, hahaha,” timpal sang ayah.

“Eh, Ibu juga punya piagam, lho… Bukan hanya satu, tapi dua! Penasaran? Kalau ingin tahu piagam apa yang ibu punya, sediakan saja dua paku kosong, besok akan ibu gantung piagamnya di sana,” sambil tersenyum misterius, ibu melanjutkan kerjanya.

Ayah dan anak saling bertanya lewat tatapan mata. Bersamaan mengangkat bahu tanda masing-masing tidak mempunyai jawaban atas pernyataan piagam rahasia milik ibu. Dengan penasaran, keesokan harinya mereka segera melihat di ruang tamu. Ah… pakunya masih kosong! Saat selesai makan malam, ibu pun mengumumkan layaknya seorang pembawa acara.

“Hadirin, sesuai janji kemarin, piagam yang ibu dapatkan sudah tergantung di tempatnya, silakan ke ruang tamu untuk melihatnya!” Mereka berhamburan ke ruang tamu ingin segera tahu, kejuaraan apa yang telah dimenangkan oleh ibu atau piagam penghargaan seperti apa yang telah dirahasiakan ibu selama ini? Pasti sangat luar biasa sampai orang serumah tidak pernah ada yang tahu!

Setiba di sana,  terpampang di tembok telah dipigura, akte kelahiran masing-masing anak. Mereka terkesima dan begitu tersadar, si sulung segera memeluk ibunya, “Iya Bu, ini adalah piagam paling berharga di seluruh dunia. Pertanda Ibu telah memenangkan pertandingan terbesar dan terhebat karena diperjuangkan dengan taruhan nyawa. Piala dan piagam yang kami dapat, tidak sepadan dengan piagam yang ibu punya. Terima kasih telah mengingatkan dan maafkan kesombongan kami, Bu,” dengan terharu mereka berpelukan.

Seorang ibu, walaupun tanpa piagam dan penghargaan apapun, tetap adalah pahlawan bagi anak-anaknya. Entah semewah atau sesederhana apapun sebuah rumah, sosok ibu adalah tempat terindah untuk anak-anaknya pulang.

Semoga, saat ini masih ada kesempatan buat kita untuk berbakti kepada ibu dan senantiasa mensyukuri bahwa melalui dialah kita ada.


Salam SuksesMulia!
 
By: @AryAgrahwan 
 
Sumber: www.AndrieWongso.com


Jumat, 04 Januari 2013

Puisi Habibie untuk Ainun

 
Puisi Habibie untuk Ainun

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu...

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya...

Dan kematian adalah sesuatu yang pasti...
Dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu...

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat...

Adalah kenyataan bahwa kematian benar2 dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi...

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba2 hilang berganti kemarau gersang...

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang...

Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada...

Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini...

Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang...
Tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik...
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku arti kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini...

Selamat jalan....
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya...

Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada....

Selamat jalan sayang....
Cahaya mataku, penyejuk jiwaku...

Selamat jalan...
Calon bidadari surgaku..


Salam SuksesMulia!

By: @AryAgrahwan